Arsip untuk 03/26/2015

Indah Pada Waktunya

Posted: 03/26/2015 in Kisah
Tag:

“Ka… Karen…” Mama menggoyang-goyangkan tubuh Karen.

Karen tetap bergeming.

“Karen, ini udah siang, loh! Kamu ga takut telat ke sekolah, Nak?” Mama masih berusaha membangunkan putri semata wayangnya itu dengan menepuk-nepuk pahanya.

Karen langsung berbalik ke arah Mamanya dengan mata yang cuma terbuka setengah. “Hmmm…” gumamnya pelan sambil melirik jam weker yang bertengger di samping tempat tidurnya. Sudah jam setengah tujuh pagi.

Tapi bukannya bangun, dia malah memeluk gulingnya. Matanya pun ikut terpejam lagi.

“Loh, Karen.. Bangun, dong!” Mama kembali mengguncang-guncangkan tubuh mungil milik Karen. Kali ini lebih kuat.

“Mama nih gimana, sih? Semalem kan aku udah bilang kalo anak kelas sepuluh tuh lagi ujian. Jadi aku libur..” gerutu Karen sambil membelakangi Mamanya.

“Oh, ya udah kalo gitu. Kamu lanjutin aja tidurnya,” Mama pun bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke luar kamar.

Karen langsung menarik selimut dari kakinya seraya menggerutu tidak jelas. Ia memang paling benci kalo tidurnya diganggu. Apalagi pas hari libur kayak sekarang.

Belum puas menggerutu, sekarang ia malah berguling-guling di atas tempat tidurnya. Mencari posisi yang nyaman untuk bisa melanjutkan tidur. Tapi tidak berhasil.

Akhirnya, ia memilih meraba-raba meja di samping tempat tidurnya. Mencari hape yang dari semalam dibiarkan dalam silent mode. Setelah mendapatkan benda berwarna putih itu, ia pun menatap layarnya. Ada tulisan ‘1 new message’.

Karen segera membacanya.

Udah tidur ya, Ren?
Rico.

Mata Karen yang tadinya sangat berat untuk terbuka, spontan melotot. WHAT? KAK RICO? Semalem Kak Rico nge-sms aku?

Baru berniat mengetik balasannya, jempol Karen kontan berhenti. Menyadari pulsanya yang sudah tidak “mencukupi”. Akhirnya, ia pun pasrah dengan kembali meletakkan hapenya ke meja. Lalu tidur lagi.

***

“Itu Kak Rico, kan?” seru Lani. Membuat Karen langsung menoleh. Kemudian mendapati sosok cowok yang dimaksud Lani itu di tengah-tengah beberapa anak kelas dua belas yang lain.

“Ga usah pake ngiler gitu, kali! Hahaha…” sambung Lani sambil mengusap bibir Karen yang sebenarnya ga ada apa-apa.

Karen sontak menatapnya. Sewot. Lalu kembali mengamati sekumpulan cowok yang lagi asik ngobrol di parkiran sekolah mereka itu.

Rico adalah senior Karen. Dia kelas XII IPS 1. Gak cakep sih, tapi manisnya minta ampun! Keren, cool, dan rada cuek. Bikin Karen tergila-gila sama cowok itu dari setahun yang lalu, waktu dia masih kelas sepuluh.

Pas lagi jalan ke gerbang, tiba-tiba…

“Hai, Karen..” sapa sebuah suara tepat di sebelah cewek imut itu.

Karen kontan menoleh. Lalu mendapati Rico di sampingnya. Sedangkan Lani sudah menghilang. Gak tau kemana dan sejak kapan.

Karen pun memamerkan senyum manisnya.

“Pulang sendirian aja?” tanya Rico dari atas motor hitam miliknya.

Karen cuma mengangguk.

“Pulang bareng aku aja, yuk! Mau, gak?” tawar Rico. Ia menyodorkan sebuah helm besar ke depan wajah Karen.

Karen menatap helm itu sejenak. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Rico. “Nggak udah, Kak. Makasih. Aku ga mau ngerepotin..”

“Ga pa-pa, kok. Nih…” balas Rico sambil menggerak-gerakkan helm yang sedari tadi ada di genggamannya itu. (lebih…)

Kesombongan Membawa Petaka

Posted: 03/26/2015 in Kisah
Tag:

Sinopsis dari Cerpen (Cerita Pendek) Kesombongan Membawa Petaka:

Cerpen ini menceritakan tentang sifat kesombongan yang pada akhirnya membawa petaka bagi dirinya sendiri. Cerpen ini mengingatkan kita untuk menjaga sifat kita atau mawas diri

Vonda dan Elina adalah teman baik semasa SMU, mereka berteman sudah sebelas tahun lamanya. Setelah lulus SMU, Vonda melanjutkan kuliah, sedangkan Elina hanya kursus saja.

Sampai akhirnya Vonda bertemu dengan lelaki di kampusnya, berpacaran beberapa tahun, kemudian menikah di gedung yang mewah dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Kehidupan Vonda berubah, dari yang biasa sekarang menjadi orang yang gila merk, hidup berfoya-foya, hanya mau makan di restoran berkelas. Hanya pernah pergi ke beberapa negara saja sudah merasa hebat, dan merasa sudah berkeliling kemana-mana.

Sedangkan Elina memiliki kehidupan yang sederhana. Dia memiliki seorang kekasih dan hanya berpergian kebeberapa negara yang dekat dengan negara asalnya.

Sampai suatu hari, karena suatu masalah Vonda dan Elina bertengkar. Vonda yang merasa dirinya lebih tinggi dari Elina dengan seenaknya menghina dan merendahkan Elina. Dan pertengkaran itu terus berlanjut, sampai pada suatu hari Vonda hamil, tetapi pada kehamilannya bulan ke empat dia mengalami musibah, janinnya meninggal dalam kandungan, kemudian dengan terpaksa harus dikeluarkan.

Setelah mendapat cobaan itu, Vonda masih saja tidak sadar atas perbuatannya yang salah. Dia tidak pernah merasa bersalah dan masih tetap sombong. Akhirnya setelah beberapa bulan kemudian, Vonda hamil lagi, dan dia memutuskan untuk menghilangkan Elina dari kehidupannya. Vonda memutuskan hubungannya dengan Elina.

Suatu hari Elina mengetahui tindakan Vonda dan merasa jengkel, akhirnya mereka berdua bertengkar lagi.
“Kau itu bodoh, tidak sepertiku pintar, aku sarjana, dan kau hanya pegawai rendahan. Aku punya banyak barang bermerk berpuluh-puluh jumlahnya, apa pacarmu itu bisa membelikan untukmu? Aku pernah pergi ke Amerika dan Jepang, apa pacarmu itu bisa membawamu kesana? Kau hanya menyusahkanku selama kita berteman.” Kata Vonda dengan kesombongannya.
“Aku menyesal berteman denganmu.” Kata Elina.
“Aku lebih menyesal berteman denganmu.” Vonda menambahkan dengan tajam.

Akhirnya pertengkaran mereka selesai dan bertahun-tahun sudah terlewati. Tidak terasa sekarang sudah sepuluh tahun dari kejadian itu.
Perusahaan milik suami Vonda bangkrut dan harta kekayaannya habis dalam sekejab. Vonda jatuh miskin dan dia sudah tidak dapat berfoya-foya lagi. Akibat pola makannya yang salah, berbagai penyakit mulai menghampiri dan stres hanya menambah penyakitnya semakin parah.

Sekarang Vonda sadar akan kesalahannya, tetapi semuanya sudah terlambat. Kesombongan telah membawa petaka buatnya. Uang yang hanya tinggal sedikit semakin habis hanya untuk berobat.

Kesombongan hanya akan membawa petaka ke dalam kehidupan kita sendiri. Semua hanya titipan, apa yang perlu disombongkan?

Sumber Klik Disini :

Pacarku Ada Lima

Posted: 03/26/2015 in Cinta
Tag:

Merayap pelan di Jalan Katamso, Jakarta, saat jam bubar sekolah merupakan pelatihan observasi yang baik. Seolah mengamati dunia dalam mikroskop, kecepatan lambat memungkinkan kita menangkap dengan detail jalanan yang berlubang, trotoar yang hancur, angkot yang mengulur waktu untuk menelan penumpang sebanyak-banyaknya, pedagang kaki lima yang bersesak memepet jalan aspal, dan manusia… lautan manusia.

Di balik kerumunan atap rumah, menyembul matahari yang membola sempurna. Oranye. Mata saya seketika melengak ke atas, sejenak meninggalkan pemandangan Jalan Katamso yang menguji kesabaran mental. Langit berwarna-warni khas senja. Campur aduk antara kelabu, biru, ungu, merah jambu, jingga. Seketika saya bersua dengan sebuah rasa tak bernama. Kemurnian, barangkali deskripsi paling mendekati. Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidup. Berkali-kali. Tak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami.

Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Dalam keadaan terinspirasi, kita merasa lahir untuk berkarya dan mencipta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. Cinta yang barangkali juga datang dan pergi sesuai dengan situasi yang terus berganti. Langit senja di jalanan macet ini menggerakkan saya untuk menelusuri cinta yang nyaris tak terganti, yang meski hidup sedang busuk dan menyebalkan, saya tahu kemurnian ini selalu menyertai jiwa saya. Untuk hal-hal inilah jiwa saya tergoda untuk kembali, dan kembali. Atau, minimal, hal-hal ini menjadi jaminan penghiburan jiwa saya selagi menjalani berbagai peran dan ragam drama yang harus dimainkan dalam hidup.Dan inilah daftar tersebut, dalam susunan acak: Langit senja. Tertawa. Minum air putih. Suara hujan. Bergandengan tangan. Dalam kelima hal itu, ada kemurnian yang selalu menjemput jiwa saya untuk sejenak bersuaka. Riak dan gelombang boleh turun dan pasang, pasangan saya boleh berganti, sehat-sakit-susahsenang boleh bergilir ambil posisi, tapi ada keindahan yang bergeming saat saya masih diizinkan untuk menatap langit senja, untuk tertawa lepas, untuk mengalirkan air putih segar lewat tenggorokan, untuk mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi, untuk merasakan hangat kulit manusia lain lewat genggaman. Sederhana memang, sama halnya dengan semua penelusuran pelik yang biasanya berakhir pada penjelasan sederhana. Sungguh saya tergoda berkata, kelima hal itu adalah kekasih saya sesungguhnya. Pacar-pacar gelap tapi tetap, yang dicumbu jiwa saya saat menjalin kasih dengan dunia materi dan sensasi ini. Bahkan kemacetan bubar sekolah di Jalan Katamso yang sempit tak mampu membendung cinta ini.

Orang Gila

Posted: 03/26/2015 in Kisah
Tag:
Sudah sekitar tiga bulan orang gila itu tinggal di kampung kami. Tidak ada yang tahu asal-usulnya, seperti juga tidak ada yang tahu kenapa dia menjadi gila. Orang-orang hanya merasa kasihan dan bertanya-tanya, mengapa sanak keluarganya tidak mencarinya? Apakah dia tidak punya keluarga? Mengapa dia begitu betahnya di kampung kami?
Tak seorang pun yang peduli padanya. Barangkali pikir orang-orang, siapa pula yang mau peduli sama orang gila. Paling-paling kalau diajak bicara dia hanya ketawa-ketawa atau nyerocos tidak jelas. Tidak nyambung. Mending kalau tidak ngamuk. Kalau ngamuk? Tambah rumit urusannya.
Kerjaannya tiap hari hanya duduk-duduk di bawah pohon asam tua dekat pasar. Pagi-pagi ketika aku mengantar ibu ke pasar, pasti aku melihat dia duduk bersila menghadap ke barat, memejamkan mata sambil memutar-mutar tasbih dan mulutnya berkomat-kamit. Entah apa yang dibacanya, aku tidak tahu. Pikirku, mungkin dia baca mantra atau semacam zikiran yang dia sendiri tidak paham.
Biasanya aku ikut masuk ke dalam pasar bersama ibu. Tetapi semenjak orang gila itu datang, aku kerap menunggu ibu di luar, di parkiran, kecuali jika ibu membutuhkan tenagaku. Hanya satu alasanku: ingin tahu lebih jauh tentang orang gila itu. Sebab dia tampak lain dari orang gila lainnya. Dia pendiam, tidak nyerocos yang tidak jelas dan tidak ngamuk-ngamuk seperti yang dipikirkan orang-orang.
Awalnya aku dimarahi oleh ibu karena alasan itu sehingga aku tidak mau ikut masuk ke pasar. Tetapi aku ngeyel dan sedikit memaksa. Akhirnya ibu mengerti. Malah beliau tersenyum tipis, menggeleng-gelengkan kepala, seperti menganggapku anak yang aneh. Kerap ketika sudah sampai di parkiran pasar, ibu menggodaku, “Sana tuh temenin pacarmu,” sambil menunjuk orang gila itu. Ah, ibu!

(lebih…)